Sabtu, 27 Juli 2013

PHK Karena Ikut Mogok Kerja

MOGOK KERJA

Perlu di ketahui bahwa mogok kerja sebenarnya adalah hak dasar dari pekerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 137 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Sebagai suatu hak dasar, ada ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dalam melakukan mogok kerja. Hal-hal yang harus dipenuhi dalam melakukan mogok kerja dapat dilihat dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan:
Pasal 139 UU Ketenagakerjaan:
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140 UU Ketenagakerjaan:
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.    waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b.    tempat mogok kerja;
c.    alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d.   tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:
a.  melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
b.  bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Lebih lanjut, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Hal-hal Apa yang Harus Dilakukan Sebelum Melaksanakan Mogok Kerja? dan Mogok Kerja Harus Dapat Izin Kepolisian?.
Kami kurang mendapat keterangan yang detail mengenai apakah mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja ini telah memenuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan atau tidak. Jika mogok kerja tersebut telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka mogok kerja tersebut adalah mogok kerja yang sah. Sebaliknya jika mogok kerja tersebut tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, maka mogok kerja tersebut tidak sah.
Berdasarkan Pasal 142 UU Ketenagakerjaan, jika mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan, maka mogok kerja tersebut tidak sah. Selain itu, Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-232/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah (“Kepmenaker 232/2003”) juga menjelaskan mengenai mogok kerja seperti apa yang dikatakan tidak sah. Berdasarkan Pasal 3 Kepmenaker 232/2003, mogok kerja tidak sah apabila dilakukan:
a.  bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau
b.  tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan/atau
c.  dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau
d. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d UU Ketenagakerjaan.
Akibat dari mogok kerja yang tidak sah diatur dalam Pasal 6 Kepmenaker 232/2003, yaitu bahwa pekerja dikualifikasikan sebagai mangkir. Atas hal ini, pengusaha melakukan pemanggilan kepada pekerja yang melakukan mogok kerja untuk kembali bekerja. Pemanggilan tersebut dilakukan oleh pengusaha 2 (dua) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Jika pekerja/buruh tidak memenuhi panggilan tersebut, maka dianggap mengundurkan diri.
Sedangkan, jika mogok kerja yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan, maka mogok kerja tersebut sah. Atas mogok kerja yang telah sah tersebut, berdasarkan Pasal 144 UU Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang:
a.   mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b.  memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pasal yang menyatakan bahwa pengusaha memiliki hak untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) kepada pekerja yang melakukan mogok kerja. Tetapi, perlu diketahui juga bahwa tidak ada pasal yang secara jelas mengatakan bahwa pengusaha tidak boleh melakukan PHK terhadap pekerja yang melakukan mogok kerja (lihat Pasal 153 UU Ketenagakerjaan mengenai hal-hal yang tidak boleh dijadikan alasan oleh pengusaha untuk melakukan PHK).
Akan tetapi, merujuk pada ketentuan dalam Pasal 6 Kepmenaker 232/2003, dapat kita lihat bahwa jika mogok kerja tersebut tidak sah, tanpa pengusaha perlu melakukan PHK, pekerja yang telah dipanggil sebanyak 2 (dua) kali untuk kembali bekerja tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut, dianggap mengundurkan diri. Ini berarti bahwa pengusaha tidak secara langsung mempunyai hak untuk langsung melakukan PHK kepada pekerja tersebut, tetapi peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan kepada pengusaha dengan memberikan ketentuan mengenai pengunduran diri tersebut.
Sedangkan, jika mogok kerja tersebut sah, kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 144 huruf b UU Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa pengusaha dilarang memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jika PHK yang dilakukan oleh pengusaha merupakan wujud dari sanksi atau tindakan balasan bagi pekerja yang melakukan mogok kerja secara sah, maka hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Jika pengusaha melanggar Pasal 144 UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta (Pasal 187 UU Ketenagakerjaan).
Jadi, pada dasarnya pengusaha tidak dapat melakukan PHK kepada pekerja yang melakukan mogok kerja.
Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-232/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah.

Jumat, 26 Juli 2013

Jenis Perselisihan Hubungan Industrial

Penyelesaian tentang perselisihan hubungan industrial diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PHI”). Yang dimaksud dengan perselisihan hubungan industrial adalah perbedaaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 2 UU PHI menjelaskan tentang  4 jenis hubungan industrial meliputi:

1.      Perselisihan hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama. Contohnya; (a.) dalam Peraturan Perusahaan (“PP”), Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”), dan perjanjian kerja; (b.) ada kesepakatan yang tidak dilaksanakan; dan (c.) ada ketentuan normatif tidak dilaksanakan.

2.      Perselisihan Kepentingan
Perselisihan Kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, atau PP, atau PKB. Contohnya: kenaikan upah, transpor, uang makan, premi dana lain-lain.

3.      Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Contohnya; ketidaksepakatan alasan PHK dan perbedaan hitungan pesangon.

4.      Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan.
Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan.

Perundingan PKB di wakilkan oleh Pengacara


PERUNDINGAN PKB


Pada prinsipnya, perjanjian kerja bersama (PKB) dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Hal tersebut sesuai ketentuan pasal pasal 116 ayat (1) 21 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”).
 
Sementara itu, di dalam UUK ataupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya di bidang ketenagakerjaan tidak ditemukan ketentuan yang melarang salah satu pihak atau para pihak tersebut di atas untuk memberikan kuasa kepada atau diwakilkan oleh advokat dalam membuat PKB. Jadi, selintas terlihat bahwa salah satu pihak atau para pihak boleh saja mewakilkan kepada advokat dalam perundingan pembuatan PKB.
 
Meski demikian, dalam konteks ini perlu diperhatikan bahwa yang diatur di dalam PKB adalah seluruh hal yang belum diatur di dalam UUK atau untuk menjelaskan lebih lanjut hal-hal yang telah diatur di dalam UUK, khususnya mengenai syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak (lihat pasal 1 angka 21 UUK). Oleh karena itu sangat penting apabila PKB dibuat langsung oleh serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha. Pasalnya, pihak-pihak itulah yang paling mengetahui hal-hal apa saja yang perlu diatur di dalam PKB sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pekerja maupun pengusaha.
 
Dengan demikian, meskipun salah satu pihak atau para pihak mewakilkan kepada advokat dalam perundingan pembuatan PKB namun mereka (serikat pekerja dan pengusaha) harus tetap terlibat aktif dalam proses tersebut.
 
Dengan demikian, kalaupun ada advokat dalam perundingan pembuatan PKB, maka seyogianya ia hanya mendampingi pihak yang berunding. Pihak pengusaha dan pekerja lah yang tetap aktif dalam perundingan tersebut.
 
Demikian pandangan kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

PKB yang melewati masa berlaku empat tahun


PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB)
 

Perihal ketentuan Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”) telah diatur di dalam Pasal 116-Pasal 135 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). Di samping itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor.PER. 16/MEN/XI/2011 (“Permenakertrans Nomor 16 Tahun 2011”) sebagai pengganti Permenakertrans Nomor.PER.08/MEN/III/2006 dan Kepmenakertrans No. KEP.48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
Mengenai keberlakuan PKB, diatur di dalam Pasal 123 UUK, yang menyebutkan :
Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 123 UUK tersebut di atas, maka PKB hanya berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang selama 1 (satu) tahun, serta tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun apabila perundingan mengenai perubahan/pembuatan PKB baru tidak mencapai kesepakatan.
Berkaitan dengan pertanyaan Anda mengenai status keberlakuan PKB setelah 4 tahun (2 tahun + 1 tahun perpanjangan + 1 tahun pemberlakuan akibat kegagalan berunding), maka kami akan menjawab dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.      Bahwa UUK maupun Permenakertrans Nomor 16 Tahun 2011, tidak mengatur akibat hukum dari PKB yang masa keberlakuannya setelah melewati 4 tahun tahun (2 tahun + 1 tahun perpanjangan + 1 tahun pemberlakuan akibat kegagalan berunding);
2.      Bahwa PKB merupakan sebuah “perjanjian” yang dibuat berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan serikat pekerja yang mana mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak (Pasal 1338 KUH Perdata), selama memenuhi persyaratan pembuatan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1337 KUH Perdata. Di samping itu, lebih tegas di dalam Pasal 124 ayat (2) dan ayat (3) UUK, PKB yang isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan di dalam perundang-undangan.
3.      Bahwa keberlakuan PKB juga tidak bergantung pada proses pendaftaran PKB di instansi ketenagakerjaan, di mana PKB tersebut didaftarkan bukan untuk mendapatkan pengesahan seperti halnya pendaftaran Peraturan Perusahaan (“PP”) sehingga meskipun tidak didaftarkan, PKB tersebut tetap berlaku bagi kedua belah pihak. Sedangkan, pendaftaran PKB tersebut menurut Pasal 27 ayat (2) Permenakertrans Nomor 16 Tahun 2011, dimaksudkan sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang dilaksanakan di perusahaan dan sebagai rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan pelaksanaan PKB.
Berdasarkan atas uraian hal tersebut di atas, maka menurut hemat kami PKB yang masa keberlakuannya telah melewati 4 tahun (2 tahun + 1 tahun perpanjangan + 1 tahun pemberlakuan akibat kegagalan berunding) seperti yang Anda tanyakan, masih tetap berlaku dan dapat diberlakukan sepanjang PKB tersebut tidak dibatalkan atau batal demi hukum sebagaimana syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 juncto Pasal 1337 KUH Perdata serta Pasal 124 ayat (2) dan ayat (3) UUK. Namun demikian juga harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Apakah sebelum diadakan perundingan, telah terlebih dahulu dibuat Tata Tertib (“Tatib”), yang disepakati oleh pengusaha dan serikat pekerja, sebagaimana diatur di dalam Pasal 19 Permenakertrans Nomor 16 Tahun 2011, yaitu;
Pasal 19 :
Perundingan pembuatan PKB dimulai dengan menyepakati tata tertib perundingan yang sekurang-kurangnya memuat:
a.      tujuan pembuatan tata tertib;
b.      susunan tim perunding;
c.      lamanya masa perundingan;
d.      materi perundingan;
e.      tempat perundingan;
f.       tata cara perundingan;
g.      cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan;
h.      sahnya perundingan; dan
i.        biaya perundingan.
2.      Apakah di dalam Tatib diatur dan disepakati bahwa setelah habis masa perundingan dan perundingan kemudian mengalami kebuntuan (deadlock) disepakati PKB yang berlaku dinyatakan tidak berlaku? Apabila hal tersebut diatur dan disepakati, maka setelah kedua belah pihak menyatakan kebuntuan atau tidak mencapai kesepakatan dalam perundingan, PKB tersebut dinyatakan tidak berlaku, dan penyelesaian mengenai hak-hak kedua belah pihak merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini UUK dan peraturan terkait lainnya;
3.      Apakah di dalam Tatib, diatur dan disepakati mengenai ketentuan bahwa pasal-pasal yang sudah disepakati bisa langsung berlaku tanpa menunggu disepakatinya seluruh subtansi di dalam PKB? Apabila hal tersebut diatur dan disepakati, maka pasal-pasal yang sudah disepakati dalam perundingan dapat diberlakukan tanpa harus menunggu disepakatinya keseluruhan substansi PKB.
4.      Apakah di dalam Tatib, diatur dan disepakati mengenai mekanisme penyelesaian sebagaimana ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”), jika perundingan mengalami deadlock? Apabila hal tersebut diatur dan disepakati, maka jika terjadi deadlock, selanjutnya diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian yang diatur di dalam UU PPHI. Namun, pasal-pasal yang akan diperselisihkan harus dicermati dan dilihat terlebih dahulu apakah termasuk perselisihan hak ataukah perselisihan kepentingan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3.      Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
4.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor.PER. 16/MEN/XI/2011 tentangTata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama